Fotografi digital sekarang sudah bergerak maju dan membentuk sebuah budaya baru yaitu kemudahan dalam belajar fotografi. Dengan kemudahan ini bisa membawa dua sisi yang berseberangan. Kemudahan yang membantu dan kemudahan yang menghanyutkan.
Karena kemudahan tersebut kita jadi bisa memilih di area mana kita berdiri. Area yang terbantu atau area dimana yang terlena karena kemudahannya.
Dengan pemahaman yang tiak komprehensif akhirnya banyak orang yang berpikir membuat foto hanyalah sekedar menekan tombol shutter kemudian mengeditnya di komputer.
Kita harus sadar, bahwa ada perbedaan yang cukup signifikan antara foto yang dibuat secara baik dan foto yang dibuat asal-asalan. Perbedaannya foto yang dibuat asal tidak akan memiliki kekuatan dan ruh yang mendalam meski sudah diperindah oleh pulasan digital.
Di era digital seperti sekarang, penyempurnaan pada post production memang diperlukan. Tapi penyempurnaan tetaplah penyempurnaan. Bukan untuk mengambil seluruh proses atau bahkan menghilangkan fungsi fotografer itu sendiri sebagai sosok yang paling berperan dalam menghasilkan sebuah karya seni berbentuk foto.
Harus disadari bahwa fotografer sesungguhnya bukan hanya tukang menekan tombol shutter yang sekedar tahu soal teknik fotografi secara benar. Tapi lebih dari itu, ada nilai lebih yang membuat seorang fotografer ditempatkan sebagai individu yang tahu mengenai fotografi secara baik.
Fotografer adalah sosok yang bisa melihat dan membuat gambar. Tapi ketika seorang fotografer hanya menempatkan dirinya sebagai tukang jepret, maka sang fotografer sudah menurunkan harga dirinya sebagai fotografer. Itulah sebabnya seorang fotografer harus memiliki flare.
Flare bisa menjadi sebuah ciri khas dan gaya yang membedakan dirinya dengan fotografer lain. Sekaligus mengukuhkannya sebagai individu yang memiliki kepribadian. Ada sebuah kecenderungan yang bila dilanjutkan bisa menjadi bumerang untuk seorang fotografer. Kecenderungan itu adalah, seorang fotografer tidak lagi mau berpikir independen. Dimana fotografer bekerja dengan sebuah sekat di kepalanya yang tanpa sengaja dibuat sendiri.
Hasilnya fotografer hanya berpikir untuk membuat doto yang sama dengan fotografer lainnya. Dimana fotografer hanya berpikir untuk bisa sukses dan eksis secara instan. Orientasinya hanya mendapatkan pekerjaan sebanyak-banyaknya dan jadi tukang dagang foto. Tanpa berpikir membuat karya yang baik.
Jika sudah seperti itu, fotografer akan tergiring pada sebuah persaingan yang tidak sehat. Semua dilakukan untuk mendapatkan order tanpa memperdulikan etika dan harga diri. Padahal ada tanggung jawab yang besar dari profesi fotografer.
Memang semua ini dibentuk dari cara pandang, pola pikir dan komitmen fotografer pada profesinya. Karena sesungguhnya fotografi itu meng-capture kehidupan. Dengan begitu kita tahu bagaimana cara mengendalikan hati, pikiran dan mengamalkan ilmu fotografi yang ia miliki.
Mindset tersebut merupakan berkah besar yang pada akhirnya dimanifestasikan untuk hidup bermasyarakat. Fotografi itu mengajarkan untuk mengambil keputusan dengan cepat dan tepat dengan melihat cahaya secara benar. Jadi fungsi cahaya bukan hanya sekedar bahan dasar dari foto. Tapi juga media bagi seorang fotografer menunjukkan karakternya.
Kamu punya rencana untuk mengadakan sesi pre wedding? Kamu bisa menghubungi admin Tokoweb.co untuk konsultasi, konsultasi gratis kok.